Amerika Serikat dan Rusia menyepakati draft resolusi
terkait rencana pelucutan senjata kimia milik Suriah. Perkembangan itu
mendorong pengawas kimia dunia menggelar pertemuan untuk membahas teknis
pelaksanaannya.
“Pertemuan dewan eksekutif untuk mendiskusikan draft
mengenai penghapusan senjata kimia Suriah berlangsung Jumat malam di Den Haag,”
demikian pernyataan Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPWC) dalam
website mereka.
41 anggota dewan OPWC akan mendiskusikan dokumen yang
disebut oleh Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry sebagai “acuan dan
peraturan” pelucutan senjata kimia Suriah, yang telah ditandatangani oleh
Damaskus.
Suriah sepakat untuk menyerahkan senjata kimianya sebagai
bagian dari kesepakatan antara AS dengan Rusia yang dibuat pada awal bulan ini,
yang telah membuat Washington membatalkan ancaman aksi militer sebagai balasan
atas serangan senjata kimia yang dituduh telah dilakukan pemerintah Suriah ke
kubu oposisi pada 21 Agustus lalu di luar ibukota Damaskus.
Naskah mengenai pelucutan senjata itu “memutuskan jika
terjadi ketidakpatuhan dengan resolusi ini, termasuk pemindahan senjata kimia
tanpa ijin atau penggunaan senjata kimia lainnya oleh siapapun di Republik Arab
Suriah, “ maka Dewan Keamanan bisa mengambil langkah berdasarkan pasal VII
Piagam PBB.
Pasal yang dimaksud itu memperbolehkan sanksi atau
penggunaan kekuatan militer. Tapi harus ada pengambilan keputusan baru dan para
diplomat memperkirakan bakal merupakan tugas yang sulit untuk mendekati Rusia
agar tidak menggunakan hak vetonya lagi.
Oposisi kecam ekstrimis
Sementara itu, tokoh kunci pimpinan oposisi dari
organisasi Koalisi Nasional Oposisi Suriah yakni Ahmad Jarba, mengecam para
ekstrimis yang ia sebut telah mencoba “mencuri revolusi kami”, dan menyalahkan
rezim yang mendukung mereka.
Ia menyampaikan komentar ini di New York dalam pidato di
depan para perwakilan “Sahabat Suriah” – sebuah organisasi internasional yang
mendukung para pemberontak untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.
“Rakyat Suriah mendukung perdamaian dan moderasi,
toleransi dan ko-eksistensi,“ kata Jarba.
"Fenomena ekstrimisme muncul dengan dukungan dan
rencana dari rezim, yang berjudi mengubah revolusi bagi kebebasan ini menjadi sebuah
perang saudara dan konflik sektarian,” tambah dia.
Rezim Suriah “menciptakan dan mempersenjatai sejumlah
organisasi teroris dan memberi mereka sebuah tempat…” kata dia.
“Kelompok lain datang menyeberangi perbatasan untuk
mencuri revolusi kami.”
Kegagalan dunia
Para jihadi dari luar Suriah yang tidak diketahui pasti
jumlahnya telah bergabung dengan kelompok jihadi pemberontak yang berafiliasi
kepada Al-Qaeda seperti Front Al-Nusra dan Islamic State of Iraq and the
Levant (ISIL).
Mereka termasuk diantaranya berasal dari Eropa, Timur
Tengah dan Chechnya.
Para pemberontak awalnya menyambut kelompok jihadi dan
para jihadi asing yang bergabung dengan mereka, karena membutuhkan senjata dan
pengalaman bertempur.
Namun dalam beberapa bulan terakhir, hubungan diantara
mereka semakin menegang, khususnya antara ISIL dengan kelompok pemberontak non
jihadi, di mana dalam sejumlah kesempatan mereka bentrok satu sama lain.
Pekan ini, sejumlah batalyon terbesar non-jihadi
membentuk sebuah aliansi yang menyertakan Al-Nusra, dan mengumumkan penolakan
mereka atas Koalisi yang dikepalai oleh Jarba.
Dalam pertemuan di PBB, Jarba mengatakan bahwa
ekstrimisme ”telah berkembang karena perbedaan diantara komunitas
internasional, yang telah gagal dalam menunaikan tugas mereka terhadap rakyat
Suriah”.
Kelompok oposisi berulangkali menyerukan para pendukung
internasional mereka untuk menyediakan senjata, tapi Barat enggan memenuhi
permintaan itu karena takut bahwa senjata-senjata itu akan jatuh ke tangan
kelompok seperti Al-Nusra, yang terdaftar sebagai organisasi teroris di banyak
Negara Barat.
0 komentar:
Posting Komentar